Thursday, April 06, 2023

Combinatoric Logic Game of Marbles

Combinatoric Logic Game of Marbles
Armahedi Mahzar (c) 2015

In my previous blog it has been shown that the combination and disposal of parallel colorful sticks with two orientations can prove any valid syllogism tabulated by Leibniz by the lineal combinatoric of Ploucquet. The combinatoric verification process can also be simulated by the game of arranging and disposing colored marbles and pieces of paper.

In the following it will be shown that we can simulate logical proof with the game arranging and disposing  the colorful marbles and pieces of paper. The secret is the fact that we can replace the changing the line length to represent the opposite concept with the changing of the marble’s ground.

Fundamental Categorical Proposition of Aristotle

If the subject a is represented by a red marble   and predicate b represented by green marble  , then NOT a is represented by red marble placed upon small white paper  .
Furthermore, the fundamental categorical statement of Aristotle is represented by pairs of marbles as it is shown in the following table

The premises and conclusion of a syllogism form is one of four such statements.

Proof of the Validity of Syllogism

The game playing that simulate the proving of the validity of a syllogism includes the following steps

  1. juxtaposing the marble pairs which represent both premises of a syllogism
  2. disposing the pair of same colored marble with different ground
  3. putting the marble which represent the subject of the second premise as the marble that represent the subject of the syllogism conclusion.

With a game like this, we can do the proving of valid syllogisms with ease, because the end result of the game is a representation of the syllogism conclusion. The table below is the Leibniz table of the premises of valid syllogisms.

 

End notes

1. Apparently, the game is very simple using colored marbles  can be taught to kindergartners. The game can also be seen as a simulation of Sommersian arithmologic.
2. Unfortunately, this game can only be played with the help of additional pieces of paper,  however, with a set of colored cards without  the help of other pieces of paper, we can simulate the proving of the syllogism validity with a simpler game as I have found it. Hopefully, that will be presented in my next blog.

Wednesday, January 18, 2023

Integralisasi Peradaban Teknologi

INTEGRALISASI PERADABAN TEKNOLOGI:
sebuah Pandangan Integralisme


Armahedi Mahzar

 

Pada abad yang lalu Alvin Toffler[1] mengajukan sebuah tesis bahwa dunia sedang memasuki peradaban gelombang ketiga melanjutkan peradaban industri gelombang kedua dan peradaban pertanian gelombang pertama. Belakangan orang mendeskripsikan peradaban gelombang ketiga sebagai peradaban informasi. Deskripsi Toffler ini jelas bersifat teknologi, karena itu lebih tepat jika dikatakan bahwa dia menganut sejenis determinisme teknologi di mana teknologi dianggap menentukan karakter utama teknologi.

 

Sementara itu pada akhir abad yang sama, ketika melihat berakhirnya perang dingin antara blok Barat pimpinan Amerika Serikat dan blok Timur, Samuel Huntington[2] menganggap bahwa sekarang dunia menghadapi perbenturan peradaban: antara peradaban Barat denga Peradaban Timur yang merupakan gabungan peradaban Islam dan peradaban Cina. Dalam pandangan Huntington, peradaban bukan ditentukan oleh teknologi tetapi oleh agama sebagai landasan super-ideologis.

 

Pada kenyataanya, pada abad ke 21, Amerika Serikat mencanangkan perang melawan terorisme yang dipicu oleh hancurnya World Trade Center karena ditabrak pesawat jet komersial. yang dibajak oleh kelompok teroris yang dipimpin oleh sebuah organisasi terorisme Al-Qaidah pimpinan Osama Bin Ladden yang jelas beragama Islam dan berdiam di sebuah Negara Islam Afganistan yang dipimpin oleh organisasi fundamentalis Taliban. Amerika Serikat dan sekutunya pun menghancurkan Taliban. Dengan demikian benturan antar peradaban pun disamarkan dengan perang melawan terorisme yang dikaitkan dengan Islam.

 

Sementara itu, di abad ini Amerika Serikat secara ekonomi telah jatuh dari penguasa ekonomi terkuat dan terpaksa memberikan kekuasaan itu kepada Tiongkok yang sejak akhir abad lalu mengalami pertumbuahan ekonomi dua digit. Sementara itu terdapat sebuah aliansi ekonomi baru yang disebut BRICS yang melibatkan Brasilia, Rusia, India, China dan Afrika Selatan. Jadi kendati secara teknologi militer Amerika serikat masih merupakan Negara adidaya secara ekonomi kekuatannya meredup

 

Dan Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Islam terbesar kini telah menjadi kekuatan ekonomi ketujuh terbesar di dunia yang sedang bangkit di bidang sains dan teknologi mengingat banyaknya anak muda Indonesia memenangkan olimpiade sains dan lomba matematika fisika internasional. Dengan demikian dapatlah dipastikan bahwa Indonesia telah memperoleh kesempatan untuk mewarnai peradaban teknologi dunia dengan nilai-nilai keislaman yang integral. Itulah sebabnya dalam artikel ini mencoba menekankan kembali beberapa aspek integralitas Islam yang pada ujungnya adalah upaya integralisasi peradaban dunia yang sekarang cenderung didominasi oleh teknologi.

 

Untuk bisa memahami bagaimana integralisasi itu bisa terjadi, barang kali kita perlu memahami apa itu peradaban. Kemudian kita akan memeriksa bagaimana perkembangan teknologi bisa mendorong transformasi revolusioner peradaban manusia dalam tahap-tahap perkembangan evolusinya.

 

Kebudayaan dan Peradaban:
sebuah Kerancuan

Kebudayaan dalam penggunaan bahasa Indonesia modern ada­lah sepadan dengan culture dalam bahasa Inggris atau kultur dalam bahasa Jerman. Sedangkan peradaban adalah terjemahan dari civilization dalam bahasa Inggris. Kedua pengertian itu kita pinjam dari Barat, sementara di Barat sendiri terdapat kegalauan makna antara kedua­nya.


Istilah
culture dalam bahasa Inggris dan "kultur" dalam bahasa Jerman dan Prancis, konon kabarnya semua berasal dari kata Latin, cultura dan cultus yang pada mulanya berhubungan dengan kata kerja cultivatio berarti pemuliaan sesuatu atau penyembahan.


Nyatanya, pada asalnya cultura hanya ada dalam kata majemuk
seperti agri cultura yang berarti pengolahan tanah sehingga menjadi subur, bahkan pada abad pertengahan sembahyang disebut sebagai agricultura Dei. Tetapi,kemudian dipakai untuk kegiatan-kegiatan lainnya seperti cultura animi yaitu proses pencerdasan jiwa.

 

Akhir­nya timbullah istilah kultur dalam pengertian kata benda abstrak yaitu kondisi atau keadaan yang menunjukkan keterolahan. Ke­mudian pengertian pengolahan itu diperluas menjadi semua proses humanisasi atau pemanusiaan, bahkan selanjutnya semua hasil proses itu pun dimasukkan dalam istilah kultur.

 

Pada akhirnya istilah itu dipersempit lagi menjadi proses dan hasil pemanusiaan dalam suatu wilayah tertentu, oleh sekelompok orang, bangsa atau sukubangsa, dalam suatu kurun waktu tertentu. Dalam pengertian terakhir ini kultur menjadi suatu istilah teknis untuk suatu obyek studi disiplin ilmu tertentu yaitu antropologi budaya.

 

Jika kultur telah berubah dari kata sifat menjadi kata kerja dan berakhir dengan kata benda abstrak yang dikongkritkan sebagai obyek studi suatu  disiplin ilmiah tertentu, sivilisasi mengalami nasib yang sama. Pada mulanya civilitas adalah sinonim dengan urbanitas yaitu kata sifat yang menandakan seseorang itu adalah penduduk kota, bukan penduduk desa atau padang pasir.

 

Kata ini diberi kono­tasi positip yaitu keunggulan penduduk kota yang lebih beradab ketimbang penduduk lainnya. Ini adalah manifestasi rasa supremasi orang Romawi yang kehidupannya berpusat di kota. Istilah ini segera menjadi kata kerja civilatio yang mengikuti proses ekspansi imperium Romawi ke jantung benua Eropa.

 

Setelah imperium Romawi runtuh di Eropa, bangsa-bangsa bekas jajahannya menjadi pembangun-pem­bangun imperium dunia yang berpusat di Eropa seperti Portugis, Spanyol, Prancis dan Inggris. Istilah sivilisasi digunakan untuk proses pengeropaan bangsa-bangsa Timur jajahan mereka.

 

Tetapi, setelah mereka-menyadari bahwa bangsa mereka bukan satu-satunya bangsa yang beradab, maka istilah itu berubah menjadi kata benda yaitu proses dan hasil upaya manusia untuk menjadi beradab. In berarti istilah peradaban menjadi sinonim dengan istilah kebudayaan.

 

Misalnya Tylor bapak antropologi Inggris meminjam istilah kultur dari Jerman dan istilah civilization dari Prancis dan menggunakannya sebagai sinonim. Dalam perkembangan selanjutnya peradaban sering digunakan untuk kebudayaan masa lalu yang menjadi obyek studi disiplin ilmu arkaeologi.

 

Sementara itu di khazanah budaya Islam digunakan kata-kata "tamaddun" dan "madaniyah" dalam bahasa Arab yang masing-masing berarti kebudayaan dan per­adaban. Ini kata orang Indonesia, mungkin karena adanya pengaruh Persia yang menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat untuk peradaban yang dalam bahasa Turki disebut medentyet. 

 

Begitu pula kaum Muslimin di anak benua India-Pakistan-Bangladesh mengguna­kan istilah tamaddun untuk pengertian kebudayaan, sedangkan untuk pengertian peradaban mereka gunakan istilah tahdhib yang berarti perbaikan diri, padahal orang-orang Timur Tengah mengguna­kan istilah madaniyah untuk peradaban. 

 

 Untuk pengertian kebudaya­an orang-orang Arab modern menggunakan istilah bukan tamaddun tetapi hadharah yang dalam pengertian asalnya adalah berarti ke­hidupan kota. Sementara itu, beberapa penulis Arab menggunakan istilah madaniyah sebagai sinonim dari hadharah yang berarti ke­budayaan, sedangkan untuk peradaban mereka gunakan istilah lain yaitu tsaqafah yang berarti perbaikan, penyesuaian, perubahan spe­sifik atau terapi.

 

Namun dalam bahasa Arab modern sendiri kata civilization sering diterjemahkan menjadi kata 'madaniyyah' (Muhammad Abduh) atau 'tamaddun' (Abdul Jabar Beg) dan 'umran' (Ziauddin Sardar). Kata madaniyyah digunakan oleh cendekiawan Mesir Farid Wajdi untuk bukunya yang berjudul "Al-Madaniyyah wa al-Islam" (1899). 

 

Kata ini juga digunakan oleh Muhammad Abduh dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1910 berjudul "Al-Islam wa al-Nashraniyyah ma'al Ilmi wa al- Madaniyyah". Padahal, kata madaniyyah sendiri pertama kalinya digunakan oleh filsuf Islam Abu Nashr al-Farabi (meninggal 339 H) dalam bukunya tentang ihnu politik yaitu "al-Siyyasah al­-Madaniyyah" dalam pengerian kehidupan kota atau urban.

 

Perubahan ma'nawi kata madaniyyah itu juga dialami oleh kata 'hadharah'. Pada mulanya kata 'hadharah' digunakan untuk pengertian kehidupan menetap oleh bapak ilmu sosiologi dari Tunisia, Ibn Khaldun, di abad XIV. Pada abad XX kata ini digunakan untuk penngertian civilization oleh penulis-penulis Arab seperti Kurd Ali ( "Al-Islam wa al Hadharah al Arabiyyah"), dan Prof Jamaluddin Surur ("Tarikh al Hadharah al­-Islamiyyah fi l-Syarq").

 

Sementara itu penulis Arab lainnya lebih suka menggunakan 'tamaddun' untuk menterjemahkan kata peradaban. Misalnya Jurji Zaidan menulis buku Ta'rikh al­Tamaddun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam). Kata itu menjadi populer di kawasan Melayu yaitu Malaysia dan Indonesia. Tetapi di kawasan Indo-Pakistan, para penulis di sana menggunakannya untuk pengertian kebudayaan atau kultur, bukan untuk peradaban.

 

Pendapat ini senafas dengan pemikir muslim dari Libanon, 'Effat al-Sharqawi, yang menulis:

 

"Kebudayaan (hadharah), menurut kami adalah khazanah historis yang terefleksikan dalam kredo dan nilai, yang menggariskan bagi tujuan ideal dan makna rohaniah yang dalam, yang jauh dari kontradiksi-kontradiksi ruang dan waktu. Sedang peradaban (madaniyah) adalah khazanah pengetahuan terapan yang dimaksudkan untuk mengangkat dan meninggikan manusia dari peringatan penyerahan diri terhadap kondisi-kondisi alam di sekelilingnya". [3]

 

Begitu juga pemikir bnlian Ikhwanul Muslimin Sa'id Hawwa berpendapat sama ketika dia berkata

 

“Madaniyah (peradaban) suatu bangsa berarti aspek material yang ada pada bangsa ini tsaqafah (kebudayaan suatu bangsa berarti aspek lain dari kehidupan bangsa itu sendiri .... hadharah suatu bangsa berarti gabungan tsaqafah dan madaniahnya."[4]

Penulis-penulis lainnya menggunakan peristilahan itu secara terbalik. Tsaqafah menurut mereka berarti kebudayaan sedangkan hadharah berarti peradaban. Ismail Faruqi mengusulkan istilah 'adab untuk menggantikan tsaqafah. Ini lebih dekat dengan istilah Indonesia peradaban.

 

Lalu timbullah kerancuan maknawi yang diwariskan dari Barat ke Timur bersama dengan proses westernisasi dunia Timur. Per­adaban dan kebudayaan itu sama atau tidak? Kalau tidak apa yang membedakannya? Ada yang mengatakan peradaban bersifat material, sedangkan kebudayaan yang bersifat ideal atau spiritual, tetapi ada pula yang berpendapat sebaliknya.

 

Yang lain lagi berpendapat bahwa baik kebudayaan maupun peradaban sama-sama mempunyai aspek material maupun spiritual tetapi berbeda dalam lingkup pcngaruh dan tingkat kemusykilannya: peradaban lebih luas dan lebih kom­pleks ketimbang kebudayaan. Tampaknya perbedaan di sini hanya­lah perbedaan dalam perjanjian penggunaan istilah.

 

Tampaknya di kalangan penulis Arab kontemporer, terdapat kegalauan semantik penggunaan istilah peradaban dan kebudayaan. Tetapi sumber kekacauan sebenarnya adalah kenyataan, bahwa kedua pengertian itu tidak terdapat dalam sumber-sumber asli Islam, ur'an dan hadits

 

Selanjutnya mari­lah kita gunakan perjanjian berikut. Madaniyah adalah sinonim dengan peradaban atau civilisasi dan tamaddun sinonim dengan kebudayaan atau kultur. Selanjutnya marilah kita berjanji untuk menganggap peradaban mempunyai lingkup yang lebih besar dari­pada kebudayaan dan lebih kompleks.

 

Dalam suatu peradaban bisa terdapat lebih dari satu buah kebudayaan. Misalnya dalam per­adaban Barat kita melihat adanya kebudayaan Amerika, kebudayaan Prancis dan lain sebagainya, sedangkan dalam peradaban Islam kita lihat adanya kebudayaan Arab, Turki, Parsi dan lain sebagainya.

 

Perjanjian in kita sebut perjanjian integralis, karena dengan pejanjian in kita menghindari kecenderungan berpikir dualis pada peradaban Barat dan kencenderungan berpikir reduksionisnya. Dengan integralisme kita menghindari pandangan bahwa realitas hanya mempunyai dua sisi.

 

Dengan Integralisme kita juga meng­hindari kecenderungan reduksionisme yang mencoba menyelesaikan dualisme itu dengan monisme reduksionis yang menganggap hanya salah satu dari kedua sisi realitas itulah yang merupakan realitas hakiki, sedangkan yang lainnya hanyalah realitas semu.

 

“Integralisme mengajukan sebuah stratifikasi kebudayaan lapis empat sebagai berikut: Ringkasnya kebudayaan itu dapat dianggap sebagi suatu sistem integral yang terdiri dari empat buah subsistem yaitu: 1. Subsistem teknikal atau tata sarana kebudayaan bendawi)2. Subsistem inatitusional atau tata lembaga (pola perilaku yang nampak)3. Subsistem ideasional atau tata cita (pola tersirat bagian luar)4. Subsisten valuasional atau tata nilai (pola perilaku tersirat bagian dalam).”  [5]


Berikutnya, kita akan
memandang peradaban sebagai kebudayaan yang lebih kompleks dan lebih luas wilayahnya. Dengan susunan terstratifikasi seperti ini, kita bisa memandang ummat sebagai tubuh dari peradaban dan teknologi sebagai pakaiannya. Tetapi kita juga menggabungkan ummat dengan lingkungan hidupnya, yang alami maupun buatan sebagai tubuh peradaban yang disebut sebagai Madinah.

 

Perkembangan Peradaban Teknologi:
Meraih Nilai-nilai


Jadi sebenarnya sistem integral atau integralitas mempunyai prinsip dinamikanya sendiri yang saya sebut multilektika. Sayangnya,
saya tak pernah menuliskannya dalam buku, namun secara lisan selalu saya sampaikan dalam diskusi antarpribadi atau pun diskusi-diskusi kelompok. Neo-adaptasionisme biologis mewujud dalam pasar bebas dalam atau liberalisme ekonomi dan mewujud sebagai demokrasi dalam politik. Dalam sektor budaya ada pasar bebas gagasan yang kini disebut sebagai multi-kulturalisme. Neo-adapsionisme, liberalisme, demokrasi dan multikulturalisme adalah pewujudan dari multilektika integralitas.

 

Dengan multilektika sebuah sistem integral berinteraksi melalui kompetisi dan koperasi dengan sistem-sistem lainnya membangun sistem-sistem baru yang lebih tinggi. Dalam tataran gagasan dan wawasan, setiap tesis harus melawan atau bergabung banyak altitesis untuk membangun supratesis-supratesis baru. Sebagai contoh di Eropa strukturalisme dan pos-strukturalisme bergabung menjadi plastisisme dan bentuk-bentuk dialektisisme lain, seperti misalnya strukturasionisme Anthony Giddens[6] , dan sintesa fenomenologi dan strukturalisme oleh Pierre Bourdieu[7] dalam sebuah praksisisme.

 

Itu pula yang saya lakukan ketika mengadu strukturalisme dan isme-isme Barat lainnya dengan islamisme sehingga menghasilkan wawasan integralisme yang herannya merupakan reformulasi baru dari filsafat tradisional Islam yang ternyata merupakan esensi struktural dari filsafat-filsafat tradisional lainnya baik dari Barat maupun dari timur. Perjenjangan materi-energi-informasi-nilai-sumber bukan hanya ada dalam tasauf, fiqh dan kalam Islam tetapi juga dalam konsep manusia dan alam filsafat agama-agama tradisional lainnya.

 

Multilektika inilah yang menjadi esensi dari proses evolusi/involusi yang berjalan dari Yang Tunggal Mutlak ke yang aneka nisbi dan dari proses devolusi/envolusi dam proses yang berjalan sebaliknya. Proses pertama itu adalah proses konstruksi dan proses kedua adalah proses dekonstruksi. Proses konstruksi/dekonstruksi itu berjalan terus menerus tanpa hentinya sehingga akhir zaman. Pada tataran terkecil materi itu adalah proses kreasi/anihilasi partikel elementer. Pada tataran pribadi proses itu adalah proses kelahiran/kematian dan pada tataran peradaban, proses itu berjalan sebagai kebangkitan/kejatuhan.

 

Sebagai dampak dinamika mutilektik itu dalam perjalanan sejarah, teknologi dan peradaban berkembang beriringan. Misalnya, Lewis Mumford pada tahun 1930 melihat sejarah pada Technic and Civilization [8] bahwa masayarakat berkembang dari masa Eoteknik  (kira-kira 1000 sampai dengan 1800) tang diawali oleh penemuan jam dan berujung pada penemuan mesin uap.

 

Kemudian berkembang memasuki masa paleoteknik (1700-1900) di mana kehidupan dibentuk oleh pabrik-pabrik berisikan mesin-mesin uap berbasis batubara yang dijalankan oleh buruh-buruh tak berketrampilan. Masa ini lalu diikuti oleh masa neoteknik (1900-1930 dan seterusnya)  ketika listrik ditemukan sehingga pabrik-pabrik terbebaskan dari dari batu-bara sehingga bisa didirikan jauh dari pegunungan lokasi tambang batu bara.

 

Belakangan pada tahun 1970 dalam bukunya The Myth of the Machine Vol II: The Pentagon of Power, Mumford mengamati bahwa teknologi mencapai tahap megateknik di mana produksi barang-barang dikendalikan oleh pasar konsumen yang seleranya dibentuk oleh iklan-iklan di media massa koran, majalah terutama radio dan televisi.[9]


Saya memperlengkap pentahapan sejarah teknologi oleh Lewis Mumford itu menjadi 8 tahap memundurkan fase eoteknik menjadi masa ketika ditemukannya pesawat pada saat setelah revolusi perkotaan dan menambahkan satu masa arkeoteknik, setelah ditemukannya  mesin cetak Gutenberg yang mendorong Renaissance dan revolusi sains, yang mendahului masa paleoteknik,  setelah ditemukannya mesin Watt yang melahirkan revolusi industry, dan mencirikan neotelnik dengan ditemukannya generator listrik oleh Faraday.

 

Saya  menganggap masa megateknik lahir dengan ditemukannya telegraf oleh Marconi dan dan diperkokoh  ditemukannya telefon, radio, film dan televisi. Penemuan Marconi inilah yang saya sebut sebagai revolusi komunikasi yang mendahului revolusi informasi yang berawal dengan ditemukannya komputer elektronik yang kemudian saling terjaring secara global melalui satelit satu sama lainnya dan dengan telepon genggam pintar. Masa akhir inilah yang saya sebut sebagai masa metateknik.


Masyarakat dan teknologi, keduanya mengalami evolusi bersamaan atau koevolusi. Koevolusi itu berkembang dengan cara bertahap yang menunjukkan perubahan karakteristik teknologi yang berkaitan secara umpan balik positip dengan tujuh perubahan revolusiner peradaban menuju suatu keseimbangan baru. Dari peradaban prateknik terdapat tujuh revolusi sosial yang didorong oleh diciptakannya jenis-jenis teknologi dengan karakteristik yang baru. Kedelapan fase perkembangan peradaban teknologi itu ditampilkan pada tabel berikut ini.[10]


Koevolusi Peradaban Teknologi

KARAKTER

TEKNOLOGI

PERADABAN

 

 

            

Material

ORGANIK
(tangan)

PRATEKNIK
(perburuan paleolitik)

SUBORGANIK
(perkakas)

PROTOTEKNIK
(revolusi pertanian)

PARAORGANIK
(pesawat)

EOTEKNIK
(revolusi perkotaan)

 

 

 

Energetik

EKSTRAORGANIK
(kincir)

PALEOTEKNIK

(revolusi Gutenberg)

SEMIORGANIK
(mesin  uap)

ARKEOTEKNIK
(revolusi Watt)

SUPERORGANIK
(motor listrik)

NEOTEKNIK
(revolusi Faraday)

 

 

Informatik

 

MEGAORGANIK
(media elektronik)

MEGATEKNIK
(revolusi Marconi)

METAORGANIK

(jaringan telematik)

METATEKNIK

(revolusi Von Neuman)


Kalau kita mengikuti Francois Lyotard
[11], maka era metateknik sekarang adalah era pos-modern yang dicirikan oleh budaya serba pecah (fragmentarisme), serba nisbi (relatifisme), serba campur (sinkretisme) dan serba sementara (temporerisme). Di era posmodern ini perubahan-perubahan teknologi berlangsung serba cepat yang dipercepat (akseleratif) sesuai dengan hukum Moore yang berujung pada singularitas teknologi di mana kecerdasan mesin mengatasi kecerdasan manusia.

 

Singularitas teknologi untuk sementara orang dianggap sebagai krisis lahirnya peradaban baru teknologi di mana manusia akan menjadi abdi-abdi teknologi. Untuk yang lain peristiwa ini adalah kejang-kejang lahirnya makhluk baru di mana semua manusia melebur dengan mesin-mesin dalam satu mega-pribadi transhumanis. 

Tampaknya, tumbuh-kembang peradaban manusia menuju kelahiran mega-pribadi ini mengikuti pola tumbuh-kembang organisme manusia sebagai individu yang mengulangi pola evolusioner biosfera secara keseluruhan. Pada mulanya manusia hidup sebagai makhluk satu sel yang terus memperbanyak diri menjadi janin multiseluler dengan teknologi penyerapan pangan didalam rahim sebagai lingkungannya. Ini adalah tahap pertama tumbuh kembang yang bersifat materi.

Kemudian dia lahir sebagai bayi, mulailah tahap kedua tumbuh kembang seorang anak yang bersifat energetik. Dalam tahap ini si anak yang mengembangkan kemampuan organ luarnya, yaitu kaki dan tangan, sebagai teknologi penyaluran energi internalnya menjadi gerak terkoordinasi. Lalu pada tahap ketiga, yaitu tahap informatik, dia tumbuh sebagai anak-anak yang belajar berbicara dan kemudian bersekolah. Berbicara adalah teknologi komunikasi natural, yaitu bahasa lisan, dan menulis adalah teknologi informasi kultural.

Akhirnya, pada tahap keempat dan terakhir yaitu tahap normatif, manusia menjadi individu dewasa belajar mengembangkan pola-pola koordinasi kerja-sama dalam bentuk asimilasi nilai-nilai kelompok-kelompok sosial multi-organismik secara berjenjang dari keluarga, sekolah, kantor, pasar, negara dan dunia manusia beradab menyeluruh yang meliputi seluruh muka bumi. 

Dengan demikian tampak jelas bahwa manusia secara individu berkembang dari fase material janin, melalui fase energetik anak-anak dan fase informatik remaja sesudahnya menuju fase normatif di masa dewasa. Keempat fase itu menunjukan perkembangan integral di mana hasil dari fase yang terdahulu menjadi bagian penting bagi perkembangan fase yang terkemudian.

Dilihat dari sisi ini etika keluarga, peraturan sekolah, kode etik profesional, hukum dan undang-undang negara serta hukum internasional dan agama dapat dilihat sebagai bagian dari teknologi normatif kolektif yang dimiliki manusia melengkapi teknologi informatik kultural yang dikembangkan manusia sebagai sel-sel peradaban.

 

Jadi puncak perkembangan teknologi adalah meraih nilai-nilai. Kita umat Islam harus mengisinya dengan mengembangkan nilai-nilai relatif yang disesuaikan dengan nilai-nilai absolut dari Yang Maha Pecipta. Jadi peradaban harus kita jadikan sebuah thariqah untuk kembali kepadaNya.

 

Perkembangan Peradaban Islam:
Daur Kebangkitan


Dalam konteks peradaban Islam kesadaran futurologis bersifat integral, selalu terkait dengan kesadaran historis. Masa depan religius dalam Islam, seperti halnya dalam agama Yahudi dan Kristen,  adalah dalam jangka waktu sangat panjang tan di1ihat sebagai katastrofal yaitu kehancuran dunia dan kebangkitan sesudahnya di akhirat.

Secara rasional kesadaran futurologis Islam di awal-awal perkembangannya justru bersifat linier pesimistik. Pandangan linier pesimistik ini dibentuk oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari yang mengatakan

Sebaik-baik kurun adalah kurunku,  kemudian kurun berikutnya dan kemudian kurun sesudahnya.

Hadits umum ini diinterpretasikan dengan hadits riwayat Ahmad yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda

Telah berlaku ZAMAN KENABIAN ke atas kamu, maka berlakulah zaman kenabian itu sebagaimana yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkat zaman itu. Kemudian berlakulah ZAMAN KEKHALIFAHAN yang berjalan seperti zaman kenabian. Maka berlakulah zaman itu sebagaimana yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya, lalu berlakulah ZAMAN YANG MENGGIGIT (zaman fitnah). Berlakulah zaman itu seperti yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya pula. Kemudian berlakulah ZAMAN PENINDASAN dan berlakulah zaman itu seperti yang Allah kehendaki.

Kemudian berlaku pula ZAMAN KEKHALIFAHAN (Imam Mahdi) yang berjalan di atas cara hidup Zaman Kenabian.

Helalui hadits ini memberikan warna optimisme membersit pandangan linier pesimistik hadist sebelumnya tepat pada akhir zaman. Tetapi itu pada akhir zaman yang tak tentu bilamananya. Jadi, bagaimanapun, pesimisme mewarnai perjalanan seiarah ummat Islam menjelang hari akhir zaman.

Tetapi, warna pesimistis ini diimbangi oleh warna optimisme periodik yang tertulis dalam hadits berikut

Allah mengutus pada ummat ini di setiap awal seratus tahun orang yang akan memperbarui urusan agamaNya (mujaddid).

Hadits ini memberikan harapan datangnya seorang mujaddid di pangkal setiap abad hijriah. Dengan demikian setiap satu abad terjadi pembaruan pemikiran Islam. Dinamika pembaruan yang periodik inilah yang memberi warna yang khas pada kesadaran futurologis Islam.


Sayangnya di kalangan ummat, kedua jenis hadits ini justru menimbulkan sikap pasip yaitu sikap menunggu. Menunggu muiadid awal abad dan menunggu imam mahdi akhir zaman. Padahal hikmah kedua jenis hadits itu adalah persiapan. Persiapan untuk menjadikan diri seorang mujaddid dan persiapan untuk menjadikan ummat Islam suatu ummat yang bersatu.

Tampaknya pada diri seorang mujaddid, pemikiran tentang persatuan ummat sebagai prasarana kebangkitannya telah menjadi obsesi. Misalnya, pemikiran-pemikiran panislamisme di awal abad 20 diajukan oleh pembaru Islam besar Syaikh Jamaluddin al-Afghani. Istilah pan-islamisme ini sendiri sebenarnya diciptakan oleh pers Barat untuk menyebutkan semangat kebangkitan ukhuwah islamiyah di awal abad 20, seperti mereka menciptakan istilah fundamentalisme Islam di akhir abad yang sama.

 

Semangat  ukhuwah Islamiyah itulah yang mengikat negara-negara kaum muslimin menjadi satu dalam Organisasi Konperensi Negara­-negara Islam. Sayangnya organisasi yang bersemangat ukhuwah ini tidak sanggup merealisasikannya, terbukti pada peristiwa tragis ketika Iraq mencaplok Kuwait yang berakhir perang antar saudara seiman yang tak adil itu. Begitu juga OKI tak berdaya ketika satu-satunya negara kaum muslimin di Eropa diperkosa oleh negara tetangganya nonmuslim di dasawarsa akhir abad 20 ini.

 

Lepas dari kegagalan OKI itu, sebenarnya pemikiran tentang kebangkitan ummat yang diwarnai kesadaran futurologis Islam moderen telah menyingsing seiring dengan munculnya kesadaran futurologis Barat. Misalnya di tahun 60-an, ketika kaum futuris Barat berpikir linier progresif, kebanyakan kaum modernis Islam.

 

Berbicara mengenai abad 20 sebagai masa renaissance Islam setelah peradaban Islam mengalami masa kegelapan selama berabad-abad semenjak jatuhnya Baghdad dan Qahirah alias Cairo ke tangan penyerbu-penyerbu Mongol dan jatuhnya Qurtubah alias Cordoba ke tangan tentara Salib dari Eropa. Masa sebelum zaman kegelapan itu disebut sebagai zaman keemasan atau perioda klasik.

 

Berpikir linier progresif ini betul-betul bayangan cara berpikir Barat moderen sekuler yang melihat seiarahnya sebagai suatu garis linier terpatah, yaitu dari zaman primitif ke zaman klasik melalui zaman kegelapan dia abad pertengahan ke abad modern dengan masa transisi masa renaissance.

Pola ini tercermin dalam penyusunan buku sejarah filsafat Islam yang diedit oleh M.M.Sharif[12]. Dalam buku ini, setelah berbicara tentang masa praislam, yang setara dengan masa barbar di Eropa, dia menguraikan bab-bab yang menceritakan sektor-sektor kebudayaan di masa kejayaan Islam, lalu berbicara satu bab tentang the dark age (1700-1850) dan mengakhirinya dengan bab yang bejudul modern renaissace.

Walaupun demikian, pola pikir Sharif lebih maju ketimbang rekan­rekannya yang menganggap masa kegelapan berawal pada tahun 1258 ketika kota Baghdad jatuh. Sharif melihat bahwa peradaban Islam tidak runtuh selamanya pada masa sesudah kejatuhan Baghdad, tetapi bangkit lagi setelah mengalami periode penyerap goneangan selama setengah abad pemulihan kembali. Dengan demikian, peradaban Islam mengalami dua kali kebangkitan dan dua kali kejatuhan dan sekarang sedang bangkit untuk ketiga kalinya.

 

Pandangan pemikir Pakistan yang optimistik evolusioner ini ditandingi oleh suatu periodisasi yang dibuat oleh mujaddid abad 20 pendiri Jamiat-i Islami, Abu A'la Maududi[13] almarhum , yang membagi sejarah Islam menjadi empat kurun. Kurun pertama adalah zaman pemerintahan Rasulullah dan Khalifah Rasyidin.

 

Kurun kedua adalah kurun di mana pemerintahan raja-raja non-arab mendominasi peradaban Islam. Kurun ketiga adalah kurun perbudakan di mana pihak luar menjaiah dan menindas ummat Islam. Kurun keempat adalah kurun di mana terjadi pembebasan. negara-negara muslim yaitu di masa kini. Kalau dibandingkan dengan hadits Rasulullah yang disebut terdahulu tampaknya Maududi secara implisit menunjukkan bahwa masa sekarang adalah masa penantian Imam Mahdi di akhir zaman.

 

Walaupun begitu, konsep penantian mahdi yang pasip itu bertentangan dengan semangat pembaharuan yang diserukannya. Dia mengajukan konsep mahdi sebagai pimpinan revolusi Islam yang menggunakan sarana-sarana moderen dalam perjuangannya menegakkan Islam.

 

Konsep ini berbeda dengan persepsi masyarakat yang menganggap Imam Mahdi sebagai seorang keramat yang menaklukkan musuh-musuhnya dengan kekuatan rohaniah berupa wirid-wirid. Wawasan ini yang disampaikan di tahun 60-an ini[14]. Dengan demikian kesadaran futurologis kaum fundamentalis bersifat optimisme revolusioner.

 

Sayangnya semangat revolusioner ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan bersenjata untuk menegakkan kebenaran yang pada prakteknya tidak berbeda dengan gerakan terorisme yang tak segan-segan mengorbankan nyawa banyak orang termasuk kaum muslimin itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan sebuah strategi perjuangan yang berjalan damai dan bermanfaat bagi kemanusiaan secara keseluruhan.

Untuk bisa memahami strategi itu barangkali ada baiknya jika kita melihat kebelakang merunut perkembangan peradaban Islam di dunia dan akhirnya melihat posisi Indonesia dalam yahap akhir perkembangan peradaban Islam dunia.

Peradaban Islam berawal penyampaian risalah tawhid oleh Rasulullah Muhammad saw di abad ke   masehi. Islam berhasil membuat jazirah Arab menjadi kesatuan politik khilafah Islamiyah dipimpin oleh khulafa Rasyidin yang pada akhirnya bisa meruntuhkan dua adikuasa di masa itu yaitu kerajaan Bizantium di barat dan kerajaan Persia di timur.

Penerus dari khulafa al-Rasyidin itu adalah tiga kerajaan besar yaitu Daulah Umayyah berpusat di Damaskus lalu di Qurtubah atau Cordoba, daulah Abbasiyah penerusnya berpusat di Baghdad dan Daulah Fathimiyah berpusat di Qahirah atau Kairo sekaran. Masa ketiga daulah itulah yang sering disebut orang sebagai masa kejayaan Islam. Masa dini telah berlangsung selama tujuh abad dipimpin oleh raja-raja keturunan Arab. Oleh karena itu masa kejayaan mereka dapat disebut sebagai Qurun ‘Arabi atau era Arab.

Ketiga kerajaan ini hancur karena gempuran dari luar. Daulah Umayyah hancur oleh serbuan tentara Salib. Daulah Abbasiyah dan Daulah Fathimiyah hancur karena serbuan dari timur oleh tentara Tartar atau Mongol pimpinan Gengish Khan. Namun secara damai dakwah Islam pada akhirnya menjadikan raja-raja penguasa Mongol itu memeluk agama Islam.

Islamisasi raja-raja Mongol itu kemudian diikuti oleh bangkitnya tiga daulah Islamiyah yang besar yaitu Daulah Ustmaniyah yang berpusat di Turki, Daulah Mughul yang berpusat di India dan Daulah Shafawiyah yang berpusat di Iran. Daulah-daulah ini lah yang merupakan pusat-pusat peradaban Islam kurun kedua yang dipimpin oleh orang-orang ‘ajam. Karena itu qurun mereka dapat disebut sebagai Qurun ‘Ajami atau era non-arab. Qurun ‘Ajami berlangsung sekitar tujuh abad juga.

Kenyataannya, kerajaan-kerajaan ini jatuh oleh serbuan imperialisme dan kolonialisme Eropa Barat. Itulah sebabnya para ulama Islam melakukan gerakan reformasi untuk melawan penjajahan Barat itu. Bermula dengan gerakan tajdid oleh Jamaluddin al-Afgani di teruskan oleh Syaikh Muhammad Abduh. Gerakan ini berujung pada gerakan Ikhwanul Muslimin di Turki dan sekitarnya serta organisasi Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama di Indonesia yang bergerak bersama organsasi sekuler kebangsaan mengusir para penjajah.

Alhamdulillah, Indonesia yang merupakan negeri jajahan dengan pupulasi muslim terbesar di dunia akhirnya berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 tercatat sebagai Negara muslim yang merdeka untuk pertama kalinya. Setelah itu barulah negar-negara Islam di Timur Tengah menjadi   merdeka diikuti oleh merdekamya Negara-negara muslim di Afrika pada tahun 70-an abad lalu dan Negara-negara muslim Eropa dan Asia Tengah pada tahun 90-an.

Negara-negara muslim yang baru merdeka di pertengahan abad lalu inilah yang mengalami penjajahan gaya baru peradaban Barat melalui sektor-sektor ekonomi, teknologi dan kebudayaan. Semua itu berjalan atas nama globalisasi dan globalisasi ini ternyata lebih efektif ketimbang penjajahan politik dan militer karena bisa melakukan kolonisasi di dalam jiwa, pikiran dan bawah sadar warga Negara-negara muslim.

 Namun di abad keduapuluh satu ini kaum muslimin mulai sadar dan bergerak melakukan islamisai berbagai sektor kebudayaan semisal tata-busana, seni musik, perbankan syari’ah diikuti oleh lahirnya siswa-siswa muslim berprestasi yang bisa memperoleh medali emas di berbagai olimpiade fisika dan matematika di dunia. Semua itu adalah tanda-tanda kebangkitan peradaban Islam qurun ketiga yang bisa kita sebut sebagai qurun ‘alami atau era global.

Konvergensi Dua Perkembangan:
Integralisasi

 

Dengan bangkitnya peradaban Islam qurun ‘alami, maka apa yang teriadi sekarang sebenarnya adalah sebuah perang antar peradaban seperti yang diramalkan Samuel Huntington ketika jatuhnya Blok Timur.. Dalam peperangan ini, benteng kita adalah diri kita sendiri. Wilayah terakhir yang diduduki oleh penjaiahan Barat gaya baru ada di dalam bawah sadar jiwa kita sendiri. Wilayah itulah yang harus direbut kembali. Pada kenyataanya, ada tiga macam strategi umum yang telah diajukan orang untuk menangkal serbuan itu.

 

Strategi pertama dapat disebut sebagai strategi isolatif. Dalam strategi isolatif ini kita memandang Islam sebagai alternatif dasar peradaban dan sebagai konsekuensinya kita menolak semua yang ada dari Barat, keouali sains dan teknologinya. Strategi inilah yang biasa dipakai oleh kaum fundamentalis. Salah satu konsekuensi dari strategi ini kita memutus kontak kultural sama sekali dengan Barat. Kita buang TV dan Radio dari rumah-rumah kita.

 

Strategi kedua dapat disebut sebagai strategi selektif. Dalam hal ini kita menyeleksi acara-acara TV dan Radio yang dilihat dan didengar oleh keluarga kita dirumah-rumah. Walaupun kini teknologinya memungkinkan, tampaknya strategi ini mengekang kebebasan dan menimbulkan adanya sensor yang yang mematikan kreativitas si anak. Strategi ini yang dijalankan oleh kaum tradisionalis.

 

Strategi ketiga adalah strategi alternatif. Dalam strategi alternatif ini kita harus menguasai sarana penyiaran alternatif yang diisi dengan acara-acara yang Islami dan berani bersaing dengan jaringan-jaringan TV sekuler yang ada.

 

Tentu saja jaringan ini mahal harganya, itu sehingga untuk menopang strategi alternatif, yang digandrungi kaum modernis itu, diperlukan strategi-strategi penunjang lainnya yang relevan.

 

Ketiga strategi itu mempunyai keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Karena itu di sini diajukan sebuah saran strategi integratif. Dalam strategi integratif ini kita membentuk sekolah-sekolah alternatif yang komplementer dengan sistem yang ada.

 

Sekolah-sekolah alternatif ini bisa memanfaatkan sistem video dan internet yang menayangkan berbagai acara yang edukatif islami. Sekolah-sekolah ini dapat berbentuk sekolah sore bagi yang sekolahnya pagi dan sebaliknya.

 

Kemudian secara bertahap kita membangun sistem TV terbatas dalam suatu pemukiman yang Islami di sekitar sekolah alternatif sehingga membentuk komunitas video yang Islami dan- berkreasi membuat acara-acara sendiri.

 

Ini berarti kita harus memiliki rumah-rumah produksi sendiri di dalam pemukiman komunitas tersebut. Begitu juga di dalam pemukiman tersebut terdapat harus ada perpustakaan dan jaringan informasi seperti yang disarankan Sardar.

 

Dengan demikian pemukim-pemukim muslim dapat menikmati suatu integral estate, di mana real estate dan ideal estate terpadu menjadi satu. Kumpulan pemukiman-pemukiman ini yang akan dijaring oleh suatu jaringan multimedia islami yang diharapkan dapat menangkal serbuan informasi global.

Dalam strategi integratif ini kita menangkal serbuan informasi global bukan dengan memutusnya, tetapi dengan jalan menyainginya dengan komunitas-komunitas informasi lokal yang pada gilirannya terjaring menjadi masyarakat informasi regional islami yang integratif.

Pada gilirannya, masyarakat-masyarakat informasi islami itu dapat bekerja-sama anatarbangsa membentuk jaringan telemedia global yang islami di atas prasarana informasi global yang bernama internet

Dengan strategi integratif melalui integrasi islami integral estates itu, insya Allah kita dapat membangkitkan suatu peradaban Islam yang mampu bersaing dengan peradaban-peradaban dunia lainnya ketika peradaban Barat sekuler yang di abad ke 21 ini sedang mengalami kemunduran. Itulah sebanya, sebagai pewaris peradaban teknologi Barat, kita bertanggung jawab untuk melakukan sebuah transformasi religio kultural terhadap peradaban teknologi itu yang pada hakekatnya sebuah proses integralisasi.

 

Hakekat proses integralisasi ini dapat dipahami kalau kita memperhatikan bahwa perkembangan peradaban manusia juga mengikuti fase-fase yang sama. Tiga fase pertama, yaitu fase-fase prateknik, prototeknik dan eoteknik mengembangkan teknologi material. Tiga fase berikutnya, yaitu fase-fase eoteknik, arkeoteknik, paleoteknik dan neoteknik mengembangkan teknologi-teknologi energi. Sedangkan dua fase terakhir megateknik dan meta teknik adalah pengembangan teknologi informasi.  Tampaknya fase informatik ini harus dilengkapi dengan fase normatif yang menyangkut nilai-nilai. Fase inilah yang saya sebut sebagai fase integralisasi

 

Mengingat teknologi itu ibarat nafs dari peradaban sebagai mega-organisme, maka proses integralisasi peradaban itu bisa diibaratkan sebagai proses reunifikasi individu manusia terhadap Tuhan penciptanya, maka tahap-tahap proses itu akan mengulangi tahap-tahap reunifikasi individu berupa transformasi psiko-spiritual yang biasanya disebut sebagai pencerahan mistis. Mistisisme dalam Islam disebut tasawuf yang esensinya adalah tazkiyatul nafs. Oleh karena itu proses integralisasi peradaban itu saya sebut sebagai tazkiyatul madaniyah.

 

Karena perkembangan peradaban teknologi itu mengulangi tumbuh-kembang peribadi manusia, maka sudah selayaknya tahap-tahap tazkiyatul madaniyati meniru tahap-tahap tazkiyatul nafs dalam thariqah. Salah satu model untuk tazkiyatul nafs adalah tahap-tahap spiritual yang diajukan oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya: Ihya Ulumuddin alias Revitalisasi Ilmu-ilmu Agama. [15]

 

Tahap awal dari thariqah adalah taubat (reorientasi) dan tahap akhirnya adalah ridha (akseptasi). Tahap pertama adalah reorientasi tujuan peradaban dari eksploitasi alam menjadi harmonisasi antara alam dan manusia dalam perdamaian yang tunduk pada Yang Maha Pencipta.

 

Tahap-tahap lainnya adalah shabr/syukr (tabah/terima-kasih) yang menyangkut kondisi dan situasi diri, faqr/zuhd (miskin/prihatin) yang menyikapi lingkungan material,  tauhid/tawakkal (pengesaan/pasrah) yang menyikapi kondisi dan situasi eksternal masa kini, khauf/raja' (takut/harap) yang menyikapi masa depan dan berujung pada ridha/ikhlas dalam menyikapi keseluruhan hidup sebagai anugrah Ilahi.

 

Shabr dalam hal peradaban adalah reorientasi peradaban dengan menerima keterbatasan sumber daya alam dan syukr dalam peradaban berarti mempertahankan semangat inovasi dalam rangka memakmurkan bumi dengan cara mengangkat alam menjadi bermanfaat bagi kemanusiaan. Faqr peradaban berarti tidak melakukan konsumsi sumber daya alam secara berlebihan dan zuhd peradaban adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas teknologi.

 

Tauhid peradaban berarti memandang semua sumber-daya alam, manusia dan teknologi sebagai amanat yang diberikan Yang Maha Pencipta sebagai karunia yang harus dimanfaatkan demi pelaksanaan perintah-perintahNya dan menghindari larangan-laranganNya. Tawakkal peradaban adalah semua keadaan mulai dari sukses tenologi hingga bencana alam adalah ujian dan cobaan dari Yang Maha Pencipta agar kita selalu serasi dengan KehendakNya. Khauf peradaban berarti bahwa kita harus selalu waspada akan dampak-dampak samping negatif dari teknologi di masa depan dan Raja' peradaban berarti bahwa kita harus selalu optimis akan kemampuan manusia untuk mengendalikan dampak-dampak negatif teknologi.

 

Tahap terakhir ridha peradaban berarti kita harus selalu memandang peradaban teknologi sebagai anugerahNya yang senantiasa dan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah-perintahNya dan menghindari larangan-laranganNya mencari keridhaanNya. Dengan demikian kita meletakkan peradaban teknologi sebagai perantara antara Yang Maha Pencipta dan alam CiptaanNya sebagai sarana kita untuk memuji dan mengabdiNya sebagai satu-satunya Pencipta dan Penguasa sekalian alam.

 

Landasan Integralisasi Peradaban:
Tauhid Wahdatiyah

Landasan bagi seluruh tahap proses reintegralisasi peradaban itu adalah Tauhid Wahdatiyah. Tauhid seuruhnya yang dilandasakan pada semua nama Allah yang tercantum dalam surat Al-Fatihah.


Tauhid Wahdatiyah
mempunyai  susunan seperti yang terlukis dalam gambar berikut ini: landasan Din al-Islam adalah Tauhid Diniyah. Tauhid ini adalah landasan bagi peradaban Tauhid adalah Tauhid Madaniyah. Kedua Tauhid itu terintegrasi dengan Tauhid Uluhiah sebagai landasan terdasar dari keseluruhan Tauhid yang juga meliputi Tauhid Rububiyah sebagai dasar semua ilmu dan Tauhid Mu’amalah sebagai pengamalan ilmu.

 

 



Tauhid Wahdatiyah

 

Sebenarnya, kelima aspek Tauhid itu berkaitan dengan kelima nama dan sifat Tuhan yang tercantum dalam tiga ayat pertama dari surat pertama Al-Quran Al-Karim: Allah, Al Rabb, Al-Rahman, Al-Rahim dan Al-Malik.

 

Keterkaitannya adalah sebagai berikut

 

1.      Asma ALLAH berkaitan dengan  Tauhid Uluhiyah sebagai kesaksian atau tasyahhud akan keesaan Allah subhana wa ta’ala yang diwujudkan dalam pengabdian atau ta’abbud yang kita laksanakan seumur hidup kita secara sepenuhnya dalam perjalanan kembali menuju haribaanNya

 

2.       Asma Al-RABB berkaitan dengan  Tauhid Rububiyah sebagi kesaksian bahwa Dzat Allah yang transenden sebagai pencipta seluruh alam-alam nyata dan gaib dalam bentuk pelimpahan Sifat-sifatNya melalui Perintah-perintahNya berupa hukum-hukum alam yang ditaati oleh semua perbuatanNya berupa gejala-gejala alam yang menghasilkan semua ciptaanNya berupa benda-benda alami dari yang terkecil hingga yang terbesar

 

3.       Asma AL-RAHMAN  berkaitan dengan  Tauhid Mu’amalah sebagai kesaksian bahwa Cinta Allah mewujud dalam kehidupan seluruh makhluk hidup yang bersifat individual dan sosial yang harus direalisasi manusia melalui tazkiyah al-nafsi atau pembersihan diri mencapai nafs al-muthma’innah atau jiwa yang tenang dan melalui tazkiyah al-ijtima’i atau pembersihan masyarakat mencapai qawm al-marhamah yaitu masyarakat yang dikasihi Allah

 

4.       Asma AL-RAHIM berkaitan dengan  Tauhid Madaniyah sebagai kesaksian bahwa Allah menyayangi manusia yang merealisasikan tugasnya sebagai khalifah Allah atau wakilNya di muka bumi melalui ta’allum atau pencarian ilmu dalam bentuk sains dan budaya yang diikuti dengan tasyakkur atau berterima kasih dalam bentuk pengembangan teknologi dan seni sebagai komponen-komponen peradaban yang Islami dalam rangka memakmurkan bumi melalui peradaban. 

 

5.       Asma AL-MALIK berkaitan dengan  Tauhid Diniyah sebagai kesaksian bahwa Allah adalah pemilik al-dunya dan al-akhirat yang harus kita jalani sebagai ‘Abd Allah atau abdiNya melalui Din al-Islam yang terdiri dari ‘Aqidah fondasional, Syari’ah kolektif dan Thariqah individual. Pewujudan Thariqah ini ini adalah berbagai ekspresi kreatif kebudayaan yang merupakan kolektivasi cinta manusia pada Maha Penciptanya yang Maha Indah.

 

Akhirul Kalam

Integralisasi peradaban adalah sebuah keharusan di masa kini, karena dia telah sampai pada tahap informatik global. Oleh karena itu hal itu bisa dilaksanakan jika dilaksanakan secara global pula. Untuk itu kita harus dapat menguasai kemudian memproduksi teknologi informasi alternatif  mulai dari piranti lunak protokol internet hingga piranti keras prosesor yang menjadi jantung komputer-komputer yang menjadi simpul-simpul internet alternatif. 

 

Untuk penguasaan teknologi itu, untuk pertama kalinya adalah memanfaatkan perkuliahan massal online yang sedang mulai menjamur dewasa ini, serta memanfaatkan internet untuk pembentukan jaringan belajar untuk berbagai disiplin ilmu sehingga menjadi simpul-simpul peningkatan pengetahuan, kemampuan dan kesadaran ummat Islam sehingga sanggup membangkitkan kembali peradaban Islam yang integral untuk yang ketiga kalinya. Semoga Allah meridhai usaha kita bersama ini. Amin ya Rabbal ‘alamin.

 

Catatan: artikel ini adalah perluasan dari artikel yang merupakan tanggapan terhadap kritik terhadap filsafat integralisme yang disuarakan oleh para pemikir muda pada acara Tribute Lecture for Armahedi Mahzar memperingati 70 tahun Armahedi Mahzar di masjid Salman ITB pada tahun 2013.

 



[1] Toffler, Alvin, The Third Wave,  Bantam Books 1980

[2] Huntington, Samuel, The Clash of Civilizations, New York Simon & Schuster 1996

[3] ‘Effat al-Sharqawi, Filsafat Kedudayaan Islam. Pustaka 1983 hal. 6

[4] Said Hawwa,  Agar kita Tidak Dilindas Zaman, Pustaka Mantiq, Jakarta 1989, halaman 95

[5] Armahedi Mahzar,  Integralisme: sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, Penerbit Pustaka 1983, hal 86

 

 

[7] Bourdieu, P. Outline of a Theory of Practice. Cambridge and New York: Cambridge Univ Press 1977

[8] Lewis Mumford. Technics and Civilization. London: Routledge, 1934

[9] Lewis Mumford, The Myth of The Machine Vol II: the Pentagon of Power 1970

[10] Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme, Mizan 2004

[11] Francois Lyotard, The Postmodern Condition: a Report on Knowledge, University of Minnesota Press 1984

[12] M.M.Sharif, History of Muslim Phikosophy, Otto Harrassasowitz1963 diarsipkan di internet https://ia600402.us.archive.org/28/items/HistoryOfMuslimPhilosophy/MMSharifVol1.pdf

[13] Abu A’la Maududi, Islam Today, Dar al-Qalam, Kuwait 1963

[14] Abu A’la Maududi, Langkah-langkah Pembaharuan Islam, Penerbit Pustaka, Bandung 1984

[15] Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin,